Sabtu, 24 Desember 2011

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu



Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya...?!”. Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah. Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya, Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: "Ammaa. Apppaa." Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”

Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”

Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku.
Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!

Amin, Alhamdulillah

SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini bermanfaat

Author : PercikanIman.org

Sabtu, 17 Desember 2011

A True Life Story Of A Single Mom (Part 3 - The End)

Segera setelah pulih dari gegar otak akibat kecelakaan di Bali, Ita meminta ijin kepadaku untuk diperbolehkan bekerja kembali. Kali ini, Jakarta menjadi tujuannya. Alasannya, ada keluarga yang sudah lama tinggal di sana dan bisa ikut mengawasi kesehariannya. Sangat berat aku melepasnya. Kadang dampak dari gegar otak yang dialaminya masih sering kambuh. Aku mengajukan alternatif untuk bekerja di Surabaya saja, tapi tekadnya sudah bulat untuk meringankan beban ibu dan kakaknya dalam membiayai sekolah adiknya yang bungsu.

Kepada kakaknya di Papua, aku meminta tolong agar Ita dicarikan jodoh dengan memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Syarat utama dariku, calon suami Ita haruslah seorang muslim. Alhamdulillah, ada seseorang berhati mulia yang bersedia memperistri meskipun tahu kondisi Ita yang tak lagi sempurna. Perkenalan dan persiapan pernikahan pun dilakukan jarak jauh karena kondisi Ita di Jakarta sedangkan calon suaminya di Papua. Setelah semuanya siap, Ita dan calon suaminya langsung bertemu di Kediri untuk melangsungkan pernikahan. Setelah pernikahan usai, Ita diboyong suaminya ke Papua. Tak tega melihatku sendirian di rumah, Andri memboyong anak-anaknya ke Kediri untuk menemaniku, meskipun sebenarnya sudah aku cegah.

Saat ini yang aku lakukan adalah berusaha membalas budi baik orang-orang yang telah membantuku dalam meringankan beban biaya perawatan Ita. Aku tidak mampu mengembalikannya berupa uang sebagaimana mereka membantuku waktu itu karena memang aku tidak mampu melakukannya. Yang aku punya hanyalah tenagaku saja. Jadi, kapan pun dan di mana pun mereka membutuhkan bantuanku, aku siap melayani. Serepot apapun kondisi Andri di rumah dalam menangani 3 jagoannya, aku tidak akan mempedulikan. Aku pasti pergi. Aku hanya berpesan pada Andri untuk menangani masalahnya sendiri dengan baik.

Bagi orang di sekitarku, yang mereka lihat adalah bahwa hidupku sudah enak, anak-anak sudah mapan, aku tinggal jalan-jalan saja. Kadang ke Jakarta, sesekali ke Kalimantan, bahkan sempat hingga ke Malaysia. Kadang pergi hanya seminggu, pernah sempat hingga 2 bulan. Mereka tidak pernah tahu bahwa semua itu aku lakukan dalam rangka membalas budi baik orang-orang yang telah membantuku dan tak mungkin pernah terbayar lunas sampai aku mati. Budi baik mereka yang telah mengembalikan hidup Ita, putriku.

_______________________________________________________________________

Beberapa detil kisah ini mungkin tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dikarenakan keterbatasanku. Untuk itu, aku mohon maaf bila ada ketidaksesuaian. Tapi secara garis besar, insya Allah, sudah mencerminkan keadaan sesungguhnya.

Jumat, 16 Desember 2011

MADU ANAK SYAMIL

Komposisi :
- Madu
- Sari Kurma
- Zaitun
- Habbatussauda
- Propolis
- Omega 3, 6, 9
- Curcuma
- Vitamin C

Aturan Pakai :
* 2 bulan - 1 tahun, 1 sendok teh 2x sehari.
* 1 tahun - 3 tahun, 2 sendok teh 2x sehari.
* 4 tahun - 12 tahun, 1-2 sendok makan 2x sehari.
* Remaja 3-4 sendok makan 2x sehari
Diminum sebelum makan, kocok terlebih dahulu.

Khasiat :
- Mencerdaskan otak
- Meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh
- Membantu pemulihan DBD (Semam berdarah)
- Menambah nafsu makan
- Menurunkan demam panas tinggi
- Melancarkan pencernaan
- Membantu menyembuhkan batuk,pilek, dan radang tenggorokan
- Mencegah kejang-kejang
- Meningkatkan pertumbuhan otot dan tulang
- Membantu menyembuhkan amandel, sariawan, asma, TBC, flek, Kanker usus, cacingan, sembelit, dll

Kemasan : 125 ml
Harga : Rp. 22.000,-

A True Life Story Of A Single Mom (Part 2)

Segera setelah mendapat berita bahwa Ita mengalami kecelakaan lalu lintas, aku berangkat ke Bali dengan perasaan tak menentu. Sesampai di rumah sakit, aku lemas melihat kondisi anakku. Kecelakaan yang dialami Ita dan teman prianya rupanya sangat parah. Teman prianya mengalami patah tulang di beberapa tempat. Dan, Ita mengalami gegar otak yang cukup berat akibat benturan dengan jalan raya sehingga ia tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama. Seluruh bagian kepalanya dibalut perban. Seketika aku meneteskan air mata. Ya Allah, sedemikian berat cobaan yang Engkau berikan kepada hamba-Mu yang lemah ini.

Kepada tim dokter yang menangani Ita, aku meminta agar sesegera mungkin setelah kondisinya memungkinkan untuk memindahkan Ita ke rumah sakit di Surabaya. Perawatan dan penyembuhan Ita akan memakan waktu lama. Tidak mungkin aku meninggalkan anak bungsuku terlalu lama di Kediri. Sedangkan meminta bantuan Andri juga tidak mungkin karena posisi kerjanya di Papua. Yang membuat aku sedikit bernafas lega, seluruh biaya pengobatan selama di Bali ditanggung keluarga teman pria Ita. Satu hikmah luar biasa yang aku dapatkan dari peristiwa ini adalah berakhirnya hubungan Ita dengan teman prianya itu. Ya Allah, berulang kali aku menangis di hadapan-Mu pada malam-malam sunyi, memohon untuk diberi jalan yang terbaik untuk Ita, rupanya Kau beri hikmah terbaik melalui jalan ini.

Akhirnya, Ita bisa dipindahkan ke salah satu rumah sakit di Surabaya. Masih dalam kondisi koma. Hari demi hari kulalui dengan penuh kesabaran menunggu putriku kembali sadar. Keadaan Ita terus membaik hingga pada suatu hari terjadi perkembangan yang menggembirakan. Ita menunjukkan tanda-tanda sadar! Kesadaran Ita pun aku tunggu dengan harap-harap cemas. Banyak pertanyaan dan bayangan buruk berlintasan dalam pikiranku mengingat beratnya gegar otak yang dialaminya. Akankah Ita masih mengingat aku, ibunya? Seberapa banyak sisa memorinya yang tertinggal? Akankah Ita seperti orang bengong yang kehilangan akal? Ya Allah, aku pasrah kepada-Mu. Aku yakin Engkau akan memberikan yang terbaik bagi Ita dan aku.

Begitu Ita sadar penuh dan mulai bisa bicara, syukur yang pertama dan kedua aku panjatkan kepada Allah. Syukur yang pertama adalah karena Ita masih bisa berbicara, tidak kehilangan kemampuan bicaranya. Syukur yang kedua adalah karena Ita tidak kehilangan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Ya, begitu bisa berbicara, yang keluar dari mulutnya adalah percakapan dalam bahasa Inggris. Ita malah lupa bahasa Indonesia. Subhanallah walhamdulillah! Syukur yang ketiga dan ke empat kembali aku panjatkan kepada Allah saat aku ajukan dua pertanyaan kepada Ita, "Nduk, siapa namamu? Aku siapa?" dan Ita menggelengkan kepala. Subhanallah walhamdulillah! Ita lupa siapa namanya dan tidak mampu mengingat bahwa aku ibunya.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh haru biru, kadang juga lucu. Aku mengajarkan segala sesuatu kepada Ita sebagaimana mengajarkan hal-hal baru kepada anak kecil. Mulai dari mengenalkan bahwa aku ibunya, mengajarkan nama-nama benda dan kata-kata kerja, tata cara makan, minum, mandi, gosok gigi, buang air besar, buang air kecil dan lain sebagainya. Sewaktu mengajari Ita cara menyuapkan nasi ke dalam mulut, sendok yang sudah dipegang di depan mulut pun bisa meleset ke arah pipi. Rupanya syaraf motoriknya belum berfungsi secara sempurna.

Makin hari kondisi Ita makin membaik. Ingatannya pun berangsur-angsur pulih. Masalah lain yang muncul berikutnya adalah biaya perawatan Ita. Tentunya bisa dibayangkan berapa besarnya biaya perawatan selama berminggu-minggu di rumah sakit, sedangkan pekerjaanku sebagai penjahit berhenti total untuk mendampingi pemulihan kondisi Ita. Satu-satunya jalan yang bisa aku tempuh adalah meminjam uang dari saudara-saudaraku. Alhamdulillah, mereka sangat prihatin dengan kondisi Ita dan bersedia mengulurkan tangan. Segala puji hanya untuk-Mu, Allah, yang telah membukakan pintu hati mereka untuk membantu kami walaupun mereka tahu aku tidak mungkin mampu mengembalikan bantuan mereka.

Sekarang saatnya bagiku untuk membalas jasa mereka dengan tenagaku.

(Kisah akan berlanjut ke A True Life Story Of A Single Mom (Part 3))

Senin, 12 Desember 2011

A True Life Story Of A Single Mom (Part 1)

Kisah berikut ini dituturkan kepadaku oleh ibu salah seorang temanku, Andri, beberapa tahun lalu di rumahnya yang asri di kawasan Pesantren, Kota Kediri. Kisah perjuangan seorang single mother dalam membesarkan 3 anak perempuannya beserta seluruh ujian yang menyertainya. Mungkin banyak ibu lain yang mengalami hal serupa. Tapi, dalam pandanganku, yang dialami ibu ini SANGAT LUAR BIASA.

____________________________________________________________________________

Sudah lebih dari 15 tahun Bapak pergi meninggalkan kami. Aku ingat waktu itu Andri sedang mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Suatu kepergian yang sangat menyakitkan hati sekaligus membuatku bingung karena Bapak tidak meninggalkan apa-apa buat kami. Bapak pergi begitu saja, meninggalkan seluruh tanggung jawabnya terhadap anak-anak kepadaku.

Tidak ada waktu untuk bersedih merenungi kepergian Bapak ataupun berpangku tangan menanti uluran tangan. Aku harus berpikir dan bertindak cepat bagaimana caranya mengatasi kondisi ini. Kondisi yang cukup berat bagiku mengingat aku hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki ketrampilan apa pun. Yang aku pikirkan waktu itu hanyalah bagaimana agar anak-anak bisa terus bersekolah, jangan sampai sekolahnya terputus. Andri menjelang masuk perguruan tinggi, adiknya Ita kelas 2 SMP, sedang si bungsu masih kelas 3 SD. Akhirnya, aku mencoba mencari nafkah dengan membuka usaha jahitan. Jangan membayangkan usaha jahitan dengan puluhan pekerja. Usaha ini hanya usaha rumahan yang aku kerjakan sendiri. Pesanan pun hanya terbatas dari kalangan keluarga dan tetangga. Alhamdulillah, usaha ini berkah dan berjalan lancar.

Di samping harus memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan anak-anak, masalah lain yang muncul adalah dampak psikologis yang dialami anak-anak akibat kepergian bapak mereka. Dampak terbesar timbul pada Ita, anak keduaku. Andri sudah beranjak dewasa sehingga bisa menerima keadaan dengan pikiran yang lebih matang, sedang si bungsu masih kecil dan tidak memiliki banyak kenangan bahagia dengan bapaknya. Tapi, Ita tampaknya terpukul cukup berat atas kepergian bapaknya. Dalam beberapa hal, terutama kecantikan fisik dan keberanian bertindak, Ita memang memiliki kelebihan dibandingkan kakak dan adiknya. Ita tumbuh menjadi gadis remaja yang bengal. Alhamdulillah, prestasinya di sekolah tidak menurun. Bahkan, ia sering dikirim sekolahnya untuk mengikuti berbagai kejuaraan bahasa Inggris, bidang pelajaran yang sangat disenanginya.

Saat beban hidup memuncak, sering aku menangis dan mengadu kepada Allah di malam-malam sunyi. Tapi satu prinsip yang kupegang: aku tidak akan pernah menangis di depan anak-anakku. Biarlah berat beban ini aku pikul sendiri. Aku harus tampak tegar di hadapan anak-anakku. Aku harus bisa memberikan teladan yang utama kepada mereka dan aku tidak mau beban ini menjadi beban mereka. Biarlah mereka berkonsentrasi menghadapi masa depannya yang masih panjang dan berliku.

3 tahun berlalu sejak kepergian Bapak. Alhamdulillah, Andri berhasil lulus kuliah sebagai ahli gizi dan mendapatkan pekerjaan di Papua. Tak lama berselang, Andri mendapat jodoh di Papua dan segera melangsungkan pernikahan. Satu beban berkurang. Sedangkan Ita, setelah lulus SMA meneruskan studi dengan mengambil kursus bahasa Inggris selama 1 tahun. Selepas dari kursus, Ita meminta ijin padaku untuk diperbolehkan bekerja di Bali. Alasan yang dikemukakan Ita, di Bali banyak pekerjaan yang sesuai dengan keahlian bahasa Inggris yang dimilikinya. Tak kuasa aku membendung keinginannya. Bagiku, Bali adalah tempat yang penuh dengan godaan duniawi. Sanggupkah Ita bertahan hidup di sana? Meskipun dengan hati yang berat, akhirnya aku lepas kepergian Ita ke Bali.

Tak lama berselang, terdengar kabar bahwa Ita berpacaran dengan seorang pria Bali yang notabene beragama non muslim. Bahkan akhirnya Ita sendiri yang memberitahukan kedekatannya dengan pria itu kepadaku. Tak mampu aku melarangnya. Aku hanyalah seorang wanita yang membesarkan anak-anakku. Setelah mereka dewasa dan mampu hidup mandiri secara finansial, maka aku tak berhak lagi atas mereka dan segala keputusan ada di tangan mereka sendiri. Aku hanya meminta Ita untuk memikirkan kembali pilihannya, terutama dari segi agama. Tapi rupanya Ita bergeming. Hubungannya dengan pria itu tetap berlanjut.

Sampai akhirnya terjadilah kecelakaan itu.

(Kisah akan berlanjut ke A True Life Story Of A Single Mom (Part 2))

Minggu, 11 Desember 2011

Ma.. Aku Pengen Ke Surga..

Seorang teman istriku menceritakan kisah berikut kepada kami:

Keputusanku untuk berpisah dengan Mas tiga tahun yang lalu sama cepatnya dengan keputusanku untuk menikah dengannya sebelas tahun yang lalu. Aku memang terbiasa dengan kondisi di mana aku harus menentukan langkah dengan cepat. Tanpa pernah berpikir panjang akibat di belakang. Profesi sebagai atlit nasional yang sudah aku tekuni sejak usia 13 tahun hingga kini sebagai pelatih nasional dan kehidupan yang keras di pusat pelatihan di mana selama ini aku tinggal sangat mempengaruhi gaya hidup dan cara pandangku terhadap suatu masalah. Aku terbiasa di posisi sebagai pemenang dan selalu dipacu untuk menang. Kuakui, ini merupakan salah satu hal yang mengakibatkan runtuhnya pondasi rumah tanggaku. Egoku sangat kuat dan dominan.

Selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Mas, alhamdulillah kami dikaruniai 2 buah hati yang saat ini berusia 10 tahun dan 8 tahun. Setelah kami berpisah, anak-anak tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak Mas, sedangkan aku kembali menetap di pusat pelatihan. Pertimbangan mereka, tentunya tidak mungkin mengajak anak-anak tinggal di pusat pelatihan yang kondisinya kurang kondusif untuk perkembangan anak-anak. Lagipula, bapak dan ibu mertua tetap mempersilakan aku untuk menengok anak-anak kapanpun aku mau. Alhasil, setiap pagi aku menjemput anak-anak di rumah kakek neneknya dan kemudian mengantar mereka ke sekolah. Siang harinya, aku kembali menjemput anak-anak di sekolah dan mengantar mereka ke rumah kakek neneknya. Sore harinya aku bisa konsentrasi melatih karena anak-anak terlindungi dengan aman. Malam hari atau akhir pekan sering aku mengajak anak-anak untuk sekedar berjalan-jalan dan jajan. Mas sendiri bekerja di luar kota dan hanya menjenguk anak-anak dua kali dalam seminggu.

Semua berjalan dengan baik selama tiga tahun ini. Setidaknya begitu dalam pengamatanku. Hubunganku dengan anak-anak berjalan seperti normalnya orang tua yang lain, meskipun kami harus berpisah tempat tinggal. Prestasi Chacha, putri sulungku, di sekolah juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Alhamdulillah dia selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Rafli, jagoanku, juga menunjukkan prestasi yang tak kalah menggembirakan. Aku sangat bangga pada mereka.

Suatu hari, seorang teman memperkenalkanku kepada seorang duda yang diharapkan bisa menjadi pengganti kedudukan Mas sebagai suamiku. Teman-temanku memang mengharapkan aku untuk segera menikah lagi mengingat usiaku masih cukup muda, 31 tahun. Apalagi belakangan, aku sering mendengar lewat pengajian-pengajian bahwa pernikahan yang diniatkan untuk ibadah insya Allah akan lebih membawa barokah. Aku meniatkan pernikahanku yang kedua ini semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Bukan berdasarkan nafsu duniawi yang tanpa pertimbangan sebagaimana pernikahan pertamaku yang berakhir dengan kehancuran.

Menghadapi hal ini, aku merasa perlu mengajak bicara Chacha. Tak adil menurutku bila anak-anak ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai pendapat, meskipun mungkin pendapatnya hanya berdampak kecil terhadap keputusanku. Apalagi Chacha sudah bisa dibilang beranjak dewasa, 10 tahun. Untuk itu, suatu sore kuajak Chacha untuk keluar jajan berdua saja. Aku menginginkan suasana yang benar-benar santai untuk mengobrol dengan Chacha. Kami memilih untuk menikmati makanan di salah satu food court di pusat perbelanjaan di Kediri.

"Mbak, Mama punya rencana mau menikah lagi. Gimana pendapat Mbak?", tanyaku membuka pembicaraan.

Chacha terdiam. Tak disangka, kedua sudut mata Chacha mulai mengalirkan air mata. Aku kaget setengah mati.

"Lho, ada apa, Sayang?", aku kebingungan.

"Ma, Chacha sudah minta ijin ke Yangkung supaya Mama diperbolehkan tidur bersama kami di rumah Yangkung. Dan Yangkung mengijinkan. Mama boleh kok tidur bersama kami di rumah Yangkung"

Jawaban Chacha seakan tidak menjawab pertanyaanku, tapi sangat tampak bahwa ia takut kehilangan kasih sayangku bila aku menikah lagi. Jawaban khas anak-anak yang bermakna sangat dalam bagiku. Aku kebingungan menjawabnya. Beberapa menit berikutnya kami larut dalam hening.

"Ma, aku pengen ke surga", celetuknya dengan mantap tiba-tiba.

Aku tercekat. Sedemikian beratkah beban mental yang diderita anakku sehingga ia ingin mati dan masuk surga? Ya Allah, ampunilah aku. Aku menenangkan diri sebelum melanjutkan bertanya kepada Chacha.

"Maksudnya Chacha apa?"

"Ya, Ma. Chacha pengen ke surga dan ngomong sama Allah supaya Mama dan Papa bisa bersatu lagi. Chacha pengen Mama, Papa, Chacha dan Rafli bisa seneng-seneng seperti dulu lagi"

Subhanallah. Ya Allah, aku tak percaya kalimat itu keluar dari mulut putriku yang selama ini aku anggap sebagai anak kecil yang tak perlu didengar pendapatnya. Dan tak kusangka anakku yang kuanggap baik-baik saja keadaannya, ternyata menyimpan beban yang cukup besar akibat perpisahan orang tuanya. Ampuni aku, ya Allah.

Detik itu juga aku urungkan keinginanku untuk menikah lagi demi kedua buah hatiku. Aku benar-benar tak ingin kehilangan mereka. Dan, beribadah bukan hanya semata-mata bisa dilakukan melalui pernikahan. Pernikahan hanyalah satu jalan untuk beribadah, masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan untuk mengabdikan diri kepada Allah. Seandainya sedari dulu aku mendengarkan pengajian dan tahu bahwa pernikahan itu merupakan satu jalan ibadah, niscaya akan berusaha aku redam egoku demi menyelamatkan bahtera rumah tanggaku yang pertama dulu, demi ridho Allah.

Jumat, 28 November 2008

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Dikutip Dari Tulisan Abu Tamam Di Forum myquran.org (3 November 2008)
Semoga bermanfaat, terutama bagi yg belum membacanya.

Untuk renungan para orangtua....

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kami pun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ......",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum"
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..."
Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya. Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam lingkungan rumah.

Semoga bermanfaat, dan menghasil generasi anak2 yang lebih baik.

Selasa, 25 November 2008

Pemberian Hadiah Harus Ada Batasnya

Pada topik sebelumnya telah dibahas bahwa pemberian hadiah hanyalah sebagai metoda perantara, tidak bisa menjadi metoda yang dipergunakan selamanya. Proses ini hanya difungsikan hingga tahap menumbuhkan kebiasaan saja. Setelah proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri.

Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang batas waktu pemberian hadiah ini. Sampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk menumbuhkan kebiasaan. Setelah pembiasaan tercapai, maka pemberian hadiah akan dihentikan. Hal ini untuk menghindari tumbuhnya harapan anak yang terlalu besar terhadap perolehan hadiah. Jangan sampai justru setelah pemberian hadiah dihentikan, timbul kekecewaan pada anak yang dapat menghilangkan kebiasaan baru yang telah terbentuk.

Bisa jadi anak akan memberikan reaksi atau protes ketika pemberian hadiah dihentikan. Atau, mereka akan mogok, berhenti melakukan perbuatan baik yang diharapkan. Namun di sinilah saatnya orang tua menunjukkan sikap tegas. Setelah orang tua berbaik hati memberi hadiah sekian lama, anak tentu memahami tujuan baik ayah ibunya. Meskipun pengertian tentang pembatasan telah diberikan, tetapi wajar jika anak mencoba menggoda orangtuanya agar mau terus memberikan hadiah.

Jika orang tua tidak kuat mendengar protes anak dan memberikan lagi hadiah, anak akan merasa berhasil mengendalikan orangtua. Di kesempatan lain, anak akan mengulangi cara yang sama untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Sebaliknya, ketika orang tua bertahan pada komitmen untuk tidak memberikan hadiah yang sudah habis "masa berlaku"nya, anak pun akan bisa menerima, karena toh sudah sejak lama ia mengerti bahwa saat pemberhentian hadiah akhirnya akan datang juga.